10 Juli 2008

KERUSAKAN LINGKUNGAN KARENA GALIAN “KUWEH” SUDAH SANGAT MENGKUATIRKAN

Kebumen terkenal sebagai daerah sentra genteng. Bahkan sebagai ciri khasnya, bangunan atap komplek Setda pun didesain menyerupai ”tobong” tempat pembakaran genteng. Sejak kurang lebih 10 tahun yang lalu, Peniron merupakan pemasok bahan baku utama yaitu tanah, yang lazim disebut ”kuweh”. Puluhan kubik tanah diangkut setiap harinya dengan truk dan dijual kepada pabrik genteng di Kedawung, Sruweng dan sekitarnya. Setelah puluhan tahun, kini penggalian sudah mencapai hampir 400 meter dari jalan raya dengan luas lebih dari 250.000 m2.

Bukan rahasia lagi kalau galian golongan C hanya semata-mata mencari profit, tetapi amat merusak lingkungan. Jika tak percaya, silahkan Anda lihat langsung di lokasi galian di area sawah Kebokuning Peniron. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktifitas galian liar itu sudah sangat amat parah!

Penyebab dari rusaknya lingkungan lebih disebabkan cara penggalian yang ngawur, seperti kedalaman galian yang tidak sama serta tidak mempertimbangkan kepentingan pembuangan air sawah. Sudah begitu cara pengambilannya tidak diikuti reklamasi yang baik pada saat selesai digali. Jadilah sawah yang dulunya subur menjadi sawah tadah hujan dengan sekali panen setiap tahun karena sebagian menjadi kolam air serta sebagian lagi menjadi bukit kecil. Rusak parah, kata yang tepat untuk menggambarkan kondisinya.

Sudah begitu, harga yang dipatok juragan kuweh (istilah untuk pihak yang menggali tanah dan menjualnya ke pabrik genteng) juga sangat murah. Bayangkan, untuk setiap 28 m3 tanah yang bisa untuk membuat ribuan genteng hanya dihargai 125 ribu rupiah! Disamping itu, kedalaman galian yang sesuai perjanjian 2 meter dalam prakteknya bahkan mencapai lebih dari 3 meter. Bahkan 1 ubin sawah yang digunakan untuk jalan masuk truk pengangkut tanah hanya dibayar 125 ribu pertahun!

Penggalian yang sudah berlangsung hampir sepuluh tahun ini memang tak terkendali. Hubungan simbiosis mutualisme yang terjadi pada awalnya, pada akhirnya hanya menjadikan juragan kuweh kaya raya, tetapi menyisakan kerugian yang luar biasa pada alam dan tentu pada petani sendiri.
Sekarang H. Ngarsis sang juragan, bahkan telah menjadi raja tanah di Peniron dan dengan caranya telah menguasai tambang tanah dengan monopolinya.

Entah pihak mana yang harus disalahkan dan harus bertanggung jawab dalam hal ini. Juragan gentengkah, penggalikah, penjualkah, atau pemerintahkah? Atau mereka sebenarnya bersalah semua?

Berdasarkan penelusuran, semua pihak ternyata punya andil dalam membuat kerusakan. Juragan yang rakus dan licik dalam memanfaatkan ”ketidakberdayaan ekonomi” petani, petani yang karena ketidakberdayaannya tak tahan dengan iming2 uang, serta oknum pemerintah desa yang saya yakin sejak lama sudah membuat kongkalingkong dengan juragan.

Sekarang, ketika kondisinya sudah begitu parah, memang menjadi pekerjaan yang berat untuk mengatasinya. Sebagian dari sawah-sawah yang belum digali ternyata sudah dijual oleh pemiliknya untuk digali dan pekerja galian adalah masyarakat juga. Memang menjadi sangat dilematis dan memerlukan keberanian ekstra ketika kita harus menegakkan aturan tetapi berbenturan dengan hak masyarakat dan hajat hidupnya.

Tetapi pada akhirnya, semua terjadi karena memang belum ada aturan berbentuk Peraturan Desa yang mengatur penambangan galian tanah. Kalaupun konon dulu pernah dibuat Perdes oleh BPD sebelumnya, kenyataannya tidak diimplementasikan dilapangan karena penggalian tanah tetap berlangsung liar dari dulu. keberadaan Perdes itu mungkin hanya menjadi arsip BPD lama.

Biarpun terlambat, sebuah kerugian besar jika masalah ini tidak segera kita cari solusinya.

9 komentar:

  1. aku juga dari dulu sempat mikir sih, tiap kali lewat daerah lor, jemur ke peniron, kok tanah di sawah sekitar jalan banyak berlubang2 ga teratur gitu..

    lagian, konon kesuburan tanah kan jadi berkurang jauh ya? karena emang bagian yang subur diambil untuk kuweh?

    harusnya pemerintah atau pihak terkait mau memperhatikan ini, soalnya kalau lingkungan rusak yang rugi ga cuman si pemilik tanah kan

    BalasHapus
  2. dulu pernah diupayakan menghentikan penambangan tanah tetapi justru mendapat perlawanan dari masyarakat khususnya pekerja galian dan petani yang sudah menerima uang.
    walaupun menghadapi tantangan berat, konon dalam waktu dekat sedang diupayakan membuat aturan yang dapat membatasi kerusakan yang lebih parah.
    bahkan diharapkan pada saatnya akan menghentikan proses penambangan. Atau minimal aturan itu bisa melindungi petani.

    BalasHapus
  3. waduh masalah kewehan, pancen gawe nek tur nglarani bathuk....
    ayuh pada gotong royong, primen carane pada didandani desane...
    nek pancen bisa aparat desa sing kongkalingkong karo "bandar keweh" cekel bae sepiti maning...
    sekalian ben ora pada plirikan jane sapa sing "main"
    lembaga desa sing wenang nyusun "undang-undang" aja kur melu nonton tok... jangan-jangan dadi kepengin melu main angger weruh bathine...
    kue ngonoh aja saling menyudutkan nek pancen jegos "Bangun peniron!!"
    aja ngomong tok mbok lambene nganti ndower ra bakal berubah.....
    Mbok...

    BalasHapus
  4. hehe kayane ana sing molai panas kiye. moga-moga bae rika udu sing senenge ming nonton karo surak tok. hehe..
    ayuh digoleti dalan keluare bareng2..
    ning ya kue sing pada konsekwen, aja nek keton pait pada ngumpet, nek legi terus pada gemrumut..

    angele maning nang peniron Kang, wong sing pinter karo sukses akeh banget, tapi sing peduli karo gelem temandang pancen mandan angel.
    lha nek rika wong Peniron, wis peduli karo gelem temandang apa urung? aja-aja pada baen kaya inyong. hehehe

    BalasHapus
  5. UNTUK ATUR SEMUA HAL TENTANG GALIAN TANAH-TANAH DI WILAYAH DESA, BERMULA DARI ITIKAD BAIK PEMERINTAH.
    BISA DIMULAI DARI UNSUR PEMERINTAHAN DESA (BPD dan PEMERINTAH DESA) YANG BERSINERGI DENGAN LEMBAGA DI TINGKAT DESA.
    PALING TIDAK HARUS ADA PERDES YANG MENGATUR TINGKAT ELEVASI TANAH MAKSIMAL DENGAN CARA RETRIBUSI GALIAN TANAH.
    JENIS PUNGUTAN DESA INI BUKAN SEMATA UNTUK MENAMBAH PENDAPATAN DESA, NAMUN LEBIH JAUH LAGI ADALAH MENGATUR PENGGUNAAN LAHAN DENGAN CARA DIATUR BERSAMA.
    SEHINGGA MAFIA JURAGAN KUWEH BISA DIREDAM DAN HASIL PUNGUTAN BISA MENAMBAH KAS DESA.
    KALO TOH BPD DAHULU SUDAH PERNAH SUSUN PEDES, NAMUN IMPLEMENTASINYA KALAH PAMOR DENGAN ULAH PARA MAFIA DEANGAN IMING-IMING TAMBAHAN UANG.
    TAPI APALAH ARTINYA UANG DIDAPAT SEMENTARA DI SEKITAR KITA MUNCUL LAHAN-LAHAN KRITIS??
    APAKAH KITA RELA WARGA ASLI HANYA MENJADIN BURUH KASAR SELAMANYA????
    PERANAN CAMAT SANGAT BERARTI UNTUK IKUT MENGKOORDINASIKAN PEANGAMANAN TANAH-TANAH DESA!!
    JANGAN HANYA SIBUK JADI TIM SUKSES BELAKA????

    BalasHapus
  6. @B&W, Makasih masukannya. Betul yang disampaikan Njenengan. Masukan dan blog Njenengan, menjadi bahan/referensi kami untuk mencoba berbuat mengatasi permasalahn ini.

    Masalahnya, ketika desa-desa didorong untuk otonom, perangkat yang ada terutama SDM belum mampu utk menuju itu. Apalagi kami yang berada jauh dipelosok. Pembinaan dari pihak2 terkait agar kami tak gagap di era otonomisasi ini masih sangat kurang.

    Mungkin ada masukan lagi Kang? Kami selalu tunggu..

    BalasHapus
  7. g' nyankka da blog peniron disini


    wess.....

    kerrreeennn


    Q bangga..

    BalasHapus
  8. @Anonim

    Ya...iyalah...
    Peniron gito loooohhhh....

    BalasHapus
  9. Nini Dawen, rika aja lenjeh lah. Wis tua be geto loh.. geto loh.. karo cincing maning!

    Kang Anonim, ben Peniron asline morak-marik, sing penting nang dunia maya ora ketinggalan. hehe

    BalasHapus

- Urun rembug
- Nerusna dopokan
Saran: untuk lebih mempercepat, silahkan langsung pilih profil Anda pada pilihan Nama/URL dengan menuliskan Nama dan URL Anda.