21 September 2008

MENUNGGU SAUDARA PULANG KAMPUNG

Lebaran sebentar lagi. Mudah-mudahan kita masih diberi kesempatan untuk menikmatinya. Tak sampai 2 minggu lagi, suasana kampung akan berubah. Dan bagi desa miskin seperti Peniron, kedatangan saudara dari perantauan akan memberi warna yang lain dari hari biasanya.

Pulang kampung saat lebaran memang telah menjadi tradisi di Indonesia. Mahalnya tarif dan susahnya angkutan umum, macetnya perjalanan dan berbagai resiko lain tak pernah menyurutkan pemudik demi menikmati lebaran bersama keluarga di kampung. Disamping kenikmatan berkumpul itu, ada yang sangat diharapkan banyak keluarga di kampung. UANG. Uang yang dikampung begitu sulit didapat dan dikumpulkan, maka perantau menjadi harapan untuk dapat membantu keluarga menopang keperluan lebaran.



Di samping semakin banyaknya uang beredar di kampung, kepulangan perantau akan membuat suasana kampung berbeda dari hari biasa. Perantau dengan gaya hidup kota akan mewarnai desa. Logat dan gaya bicara baru, pakaian trendi, asesoris gaul, dan segala hal yang tidak “ndesani”. Bahkan, sebagian pemudik terutama yang masih ABG akan menjadi trendsetter baru bagi anak kampung untuk lebih “gaul” seperti apa yang biasanya hanya bisa dilihat di tivi.

Walaupun tidak semua, pemudik seolah malah menjadi warga baru bagi orang desa. Baru karena dengan perubahan di atas, sebagian seperti bukan orang desa lagi. Tetapi, itu bisa dimaklumi karena kehidupan dialam rantau tentu sedikit banyak telah merubah karakter. Tetapi justru suasana yang mendadak kaya warna itulah yang membuat suasana lebaran di kampung selalu ditunggu.

Memang, tidak semua saudara kita berubah menjadi “gaul”. Banyak pemudik, yang walaupun telah bertahun-tahun tetap saja “ndesani” seperti berbahasa ngapak, grapyak semanak, menyukai campursari bahkan uyon-uyon, masih seneng ngumpul dengan penghuni kampung seperti kami, ngasih rokok dan traktir makan.
Orang kampung seperti kami dengan banyak keterbatasannya kadang memang menjadi sensitif dan menjadi sangat subyektip. Atau mungkin karena memang belum siap menerima perubahan. Tetapi menurut kami, sebagian dari teman-teman kami walaupun sangat kecil, memang sudah berubah terlalu “kekota-kotaan”. (Maaf, kota hanya kami pinjam sebagai istilah, dan bukan berarti kami menganggap kota itu jelek).

Ya, sebagian orang barangkali memang berpikiran seperti Tukul Arwana, yang menggunakan istilah ndeso untuk menyebut keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan, 3 hal yang paling menjadi masalah di negeri ini. Maka, orang sukses disebut rejeki kota, wajah lucu disebut wajah ndeso, orang bodoh disebut dasar wong ndeso dan banyak sebutan lain yang akhirnya menimbulkan arogansi berpikir, bahwa segala yang berbau kota pasti lebih baik.

Dan itu, barangkali yang menyebabkan ada sebagian kecil Sudara kami yang dengan sadar merubah diri. Maka, saat mudik tampillah mereka dengan beragam budaya kotanya yang mereka anggap lebih baik. Pakaian seksi dengan asesoris layaknya artis, Hp seri mutakhir atau keluaran terbaru serta gaya hidup yang mudah-mudahan bukan karena dipaksakan agar dinilai “gaul” dan “ngota”. Sebagian dari mereka bahkan datang kepada kami dengan pongah, mengeluh dan bertanya kenapa desa tidak berubah. Sayangnya, hanya saat pulang kampung itu mereka sadar kalau desanya tertinggal, sebelum dan setelah itu mereka tak pernah peduli.

Tulisan ini bukan untuk menyuburkan dikotomi desa – kota. Sebagai warga ndeso, kami hanya ingin bahwa sebutan ndeso dan kota jangan dinilai dari bungkus semata. Jangan kita serta merta menilai bahwa orang kampung dan segala yang berbau kampung adalah ketinggalan, malu-maluin dan harus ditinggal. Ndesa dan kota adalah sebuah nilai, yang akhirnya menggambarkan kualitas peradaban. Maka, bukan alamat tempat tinggal, gaya hidup artis, hp, asesoris gaul gaya artis, dompet tebal dan gaya hidup metropolis untuk layak disebut kota. Bukan pula karena menyukai seni tradisional, miskin, hp jadul, menyukai sambal dan petai, lantas disebut ndesa.

Tulisan atau mungkin tepatnya keluhan ini pun walaupun diekspos, boleh dibaca dan direspon oleh siapapun, hanya dimaksudkan untuk mempengaruhi ruang berpikir saudara kami dari Peniron dan sebagian wong-wong ndeso lainnya. Bahwa sebenarnya sebuah kecelakaan jika berpikir berganti atribut akan serta merta membuang kemaluan dari sebutan ndeso. Gaya hidup “gaul” dan “trendy” hendaknya tidak dipaksakan tetapi memang karena kebutuhan, situasi dan kondisi. Di desa atau kota terkandung banyak nilai, buang yang buruk menurut norma, dan tak usah malu mengambil yang baik.

Kami tunggu Saudaraku, keluarga dan kampung halaman menanti kalian. Semoga lebaran nanti menjadikan kita semakin baik. Kepulangan kalian akan menjadi tempat belajar demi majunya kami dan desa kita. Amin…

17 September 2008

PANEN MBAKO

Petani tembakau, termasuk salah satu pihak yang diuntungkan saat ini. Pasalnya fatwa haram untuk rokok yang kemarin diwacanakan banyak pihak ternyata belum jadi dikeluarkan MUI. Bahkan walaupun tidak mewakili institusi MUI, salah seorang anggota MUI bahkan menyatakan tidak akan mengeluarkan fatwa haram.

Sebelumnya, wacana pengharaman rokok memang sempat membuat petani cemas karena jelas akan berdampak pada turunnya harga jual tembakau mereka. Demikian juga dengan Peniron sebagai salah satu desa yang mempunyai lahan kebun tembakau cukup luas di Kebumen utara. Secara pasti, luas lahan kebun tembakau tahun ini tidak diketahui, tetapi diperkirakan lebih dari 20 hektar.


Di Peniron, sentra tembakau ada diwilayah barat (Dusun Bulugantung dan Perkutukan). Wilayah lain walaupun ada tetapi lahan tanamnya tidak terlalu luas.
Saat ini, hampir seluruh tanaman tembakau sudah dipetik (di rampas dalam istilah Peniron). Baik yang dipetik petani sendiri maupun dipetik oleh juragan karena dibeli dilahan. Tahun ini, petani tembakau sangat terkendala pada sulitnya air yang digunakan untuk penyiraman. Bahkan karena kendala itu, sebagian petani terpaksa menjual/memanen tembakaunya sebelum masa panen.

Berkebun tembakau menjadi pilihan petani karena tembakau lebih menghasilkan keuntungan yang lumayan dibanding menanam tanaman lain disaat kemarau. Dalam waktu 4 bulan, tanaman seluas 200 ubin konon dapat menghasilkan 4-5 juta jika dibeli langsung tengkulak dilahan. Jika diolah sendiri, keuntungannya tentu akan makin tinggi.
Saat ini, harga per kilo basah dihargai sampai Rp. 12ribu dan tembakau kering per ikat (eler dalam istilah Peniron) dihargai sampai 25ribu.

Di Peniron karena banyaknya petani tembakau juga banyak bermunculan juragan tembakau, yang sebenarnya bertindak sebagai tengkulak. Yang unik bin lucu, mereka tidak membayar cash kepada petani. Harga 2 juta yang disepakati bahkan bisa baru lunas setelah 3-4 tahun karena pembayarannya dicicil semau juragan. Kondisi ini terjadi, disamping faktor modal, wawasan petani juga sangat terbatas karena tidak pernah ada penyuluhan dari PPL dan tak adanya paguyuban petani yang lebih memungkinkan membuat naik posisi tawar dengan tengkulak.

Pengolahan tembakau dilakukan dengan cara tradisional. Tembakau yang dipanen dibawa pulang dengan keranjang dari anyaman daun kelapa (bedodot dlm istilah Peniron), di tempat pengolahan, daun tembakau dirajang dengan pisau rajang khusus (gobed), kemudian hasil rajangan tersebut ditata tipis dalam anyaman bambu (rigen) untuk dijemur. Setelah melalui proses pembalikan, tembakau kering dikemas untuk disimpan atau dipasarkan. 1 ikat (eler) saat ini dihargai sekitar 25ribu.

Pengolahan di tempat juragan tembakau dapat melibatkan puluhan orang. Bahkan di Tempat Pengolahan Tembakau (TPT) Bapak Mustareja, dusun Perkutukan bisa mempekerjakan hingga 40-50 orang. Biasanya pekerja dibagi dalam 3 bagian, yaitu laki-laki dibagian perajangan dan penjemuran serta perempuan dibagian pengeleran. Upah untuk bagian perajangan dan penjemuran berkisar 10ribu sampai 15ribu, sedangkan perempuan dibagian pengeleran berkisar 7ribu sampai 10ribu. Upah pekerja memang cukup murah karena waktu kerjanya pun tidak sampai 5jam sehari, kecuali bagian penjemuran yang standby dari pagi sampai sore hari.

Pemasaran tembakau Peniron, disamping daerah Kebumen, Petanahan dan Gombong juga sampai Cilacap.

Berkebun tembakau memang menjanjikan keuntungan yang lebih baik, tetapi bermacam kendala belum mampu dihindari petani. Keterbatasan modal, faktor alam, organisasi dan akses pemasaran menjadi problem yang terus terulang dan tak mampu diurai setiap musim. Semoga ke depan ada perhatian dari pihak terkait maupun simpatisan lain untuk mengangkat petani dari ketidakberdayaan.

16 September 2008

TRAGEDI PEMBAGIAN ZAKAT

Sungguh malang nasib rakyat miskin di negeri ini. Nyawa mereka ternyata dihargai lebih murah dari seamplop uang tak lebih dari 30 ribu rupiah! Kemiskinan membuat mereka rela menyabung nyawa demi berebut rejeki senilai itu dari sang saudagar.
Tragedi pembagian zakat di Pasuruan yang menewaskan 21 orang dan mencederai puluhan orang, membuat kita tercengang. Betapa murahnya rakyat miskin menghargai dan dihargai nyawanya. Bahkan pada bulan puasa sekalipun.

Yang menyesakkan juga, masalah pada pembagian zakat bukan pertama kali ini terjadi. Sepertinya, masyarakat kita memang malas untuk belajar dan menganggap remeh persoalan, apalagi menyangkut rakyat miskin.


Begitulah ketika niat baik tidak dilakukan dengan cara yang baik maka lahirlah petaka. Dibeberapa tempat, berzakat yang tujuannya untuk membagi nikmat, sebagai wujud syukur pada Alloh Ta’ala dan membersihkan harta, dilakukan dengan membagi langsung bak memberi makan pada ayam-ayam piaraan. Karena tidak dilakukan dengan metode yang baik, maka terjadilah tragedi.

Kasus Pasuruan semoga mampu membuka mata hati kita, bahwa berzakat, infaq, shodaqoh, berderma, atau apapun namanya semestinya dilakukan dengan cara yang baik dan manusiawi. Bukankah agama sudah mengatur dengan jelas, bagaimana tata cara zakat termasuk siapa yang berhak menerima zakat?

Pada pembagian yang dilakukan langsung oleh sang juragan, apakah itu sebagai bentuk ketidakpercayaan pada lembaga amil? Ataukah karena ada pemikiran pongah, riya dan kesombongan sebagai kaum berlebih harta? Lantas apakah pembagian zakat seperti itu akan tepat sasaran pada yang berhak sebagaimana sudah ditentukan dalam agama?

Bencana adalah sebuah pelajaran (bagi mereka yang mau belajar), maka ketika tragedi pembagian zakat sudah memakan puluhan korban, mudah-mudahan itu pelajaran bagi kita semua. Pemerintah, Lembaga Amil, tokoh agama, dan kita semua mesti instrospeksi agar pelaksanaan penyaluran zakat benar-benar sesuai ketentuan syariat.

Jika pemerintah dan politisi bisa membuka mata dan hati akan realita bahwa rakyat semakin miskin, mudah-mudahan mereka akan berhenti memperkaya diri dengan uang rakyat. Dan kemiskinan yang menjadi sebab terpenting pada kasus ini semoga tidak hanya menjadi iklan-iklan dan komoditas politik belaka.

Akhirnya pada kasus lain, janganlah lagi kita belajar dan memperbaiki diri saat setelah timbul korban. Mudah-mudahan...

NGABUBURIT

Ngabuburit, entah apa artinya. Saya sendiri tidak tahu, tapi saya mengartikan (mungkin) sebuah aktifitas yang dilakukan untuk menunggu buka puasa. Banyak cara untuk menunggu waktu berbuka dan selain masjid beberapa tempat akhirnya menjadi tempat favorit dadakan untuk ”ngabuburit”, mengalihkan perhatian dari rasa lapar dan haus.

Bagi yang tinggal di kota besar, tempat untuk menunggu buka barangkali bukan hal susah. Tapi ketika pulang ke kota kecil seperti Kebumen, mencari tempat ngabuburit seperti di kota mungkin sedikit susah. Seperti pengalaman teman saya, konon dulu ketika masih kost di kota setiap sore bulan puasa selalu nonton balapan liar sesuai hobynya. Atau nongkrong di mall sambil menikmati internet gratis melalui fasilitas hotspot. Maka ketika pulang ke Kebumen, dia mengajak saya muter-muter Kebumen sampai ke pinggir hanya untuk nyari balap liar.


Di Kebumen kini, ”ngabuburit” juga mulai jadi trend. Tempat favorit untuk mengalihkan rasa lapar dan haus diantaranya alun-alun kota. Selepas direnovasi (walaupun belum tuntas) alun-alun Kebumen memang menjadi lebih Bersih, Indah, Manfaat, Aman dan Nyaman. Maka setiap sore, puluhan orang terutama anak-anak muda memenuhi alun-alun. Beragam aktifitas ngabuburit mulai nongkrong, cuci mata, olah raga (joging, basket bahkan berlatih tinju), momong anak-anak atau bahkan menjadi penjual makan/minum untuk berbuka seperti remaja di kota besar.

Tempat lain yang mulai diminati adalah menghabiskan waktu jalan-jalan di supermarket/swalayan, terutama di Rita Pasaraya dan Toserba Jadi Baru. Bahkan setelah bulan ini Toserba Jadi Baru membuka Free Hotspot Area, toserba ini mulai menjadi sasaran penikmat internet untuk menunggu waktu maghrib.

Selain memanjakan mata di dua tempat itu, ada yang menghabiskan waktu dengan membuat lapangan bola dadakan di sawah-sawah yang kebetulan baru habis panen. Aktifitas seperti yang banyak dilakukan oleh remaja-remaja di desa Karangsari dan Watubarut yang menghabiskan sore dengan bersimbah keringat bermain bola.

Barangkali ada banyak tempat ngabuburit di Kebumen. Tetapi keterbatasan saya tak bisa untuk menuangkan ceritanya di sini. Untuk itu, jika ada teman yang punya info tempat ngabuburit lain dimanapun, silahkan beritahu melalui komentar disini.

Istilah dan aktifitas ngabuburit telah menjadi trend baru bagi masyarakat kita. Apapun, selama dilakukan dengan positif sepertinya tidak mengurangi makna ibadah puasa kita. Memang, memperbanyak amalan dengan aktifitas keagamaan barangkali lebih baik dari sekedar tongkrong sambil cuci mata. Semuanya kembali pada kita dengan pilihan dan resikonya.

15 September 2008

PEMBERDAYAAN PNPMMD

Untuk kesekian kalinya, Desa Peniron mendapatkan bantuan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPMMD). Dulu, program ini dinamai PPK (Program Pemberdayaan Kecamatan). Mungkin karena program ini dianggap sudah berhasil memberdayakan kecamatan, maka lingkup sasaran pengembangan pun dirubah sehingga nama program pun menjadi PNPMMD. Sebagai kesinambungan program terdahulu, program ini tidak mengalami perubahan yang signifikan, hanya dalam prosedurnya yang sedikit lebih ketat.

Untuk mendapatkan dana tersebut, dilakukan dengan sistem kompetisi berdasarkan ajuan dari tiap desa. Tahun ini, desa Peniron berhasil mendapatkan dana Rp. 224 juta. Sesuai dengan ketentuan, dana ini dikelola oleh LKMD sebagai penanggung jawab program dan dilaksanakan oleh Tim Pengelola Kegiatan (TPK). Sesuai proposal yang diajukan, dana Rp. 224 juta tersebut digunakan pembangunan fisik dan non fisik.
Untuk fisik sebesar 187 juta meliputi:
- Pembangunan jembatan Bulugantung – Karangduren dengan konstruksi box culvert 3x11 meter, sebesar Rp. 75 juta.
- Pekerjaan betonisasi, gorong-gorong dan talud jalan Bulugantung – Geblug – Karangduren sebesar Rp. 112 juta.

Untuk non fisik sebesar Rp. 37 juta digunakan sebagai dana simpan pinjam bergulir pada 8 kelompok. Dana ini diusulkan dengan harapan untuk pemberdayaan perempuan dan pengelolaannya pun oleh ibu-ibu. Sayangnya, usulan pelatihan batik tulis yang diharapkan dapat membekali masyarakat untuk lebih mandiri belum disetujui.

Sebagian mungkin bertanya, kenapa program yang cukup besar itu hanya direalisasikan di satu lokasi? Jawabnya karena aturan PNPMMD memang harus seperti itu, Pembangunan fisik harus terintegrasi di satu titik, tak boleh berpencar.

Diperkirakan, saat lebaran pekerjaan fisik sudah selesai 100% dan dapat digunakan untuk menunjang aktifitas masyarakat. Besok, warga Karangduren khususnya, tidak lagi harus menyeberang sungai karena jalan beton yang diperlebar dan jembatan dengan konstruksi box culvert sudah siap digunakan. Untuk mencapai target waktu tersebut, pekerjaan yang ditarget mendulang swadaya masyarakat sebesar 30juta dikerjakan siang malam dengan dukungan kerja bakti.

Sebagai dana pemberdayaan, proses PNPMMD diharapkan dapat berjalan sesuai tujuan yaitu memberdayakan masyarakat. Tujuan dari PNPMMD yang membidik kemiskinan sebagai obyek program diharapkan dapat terwujud dengan terbangunnya akses-akses untuk pemenuhan kebutuhan dasar, ekonomi dan politik dalam bentuk sarana jalan dan dana simpan pinjam. Utamanya adalah masyarakat miskin di Peniron yang barangkali berjumlah lebih dari 2/3 jumlah penduduknya.

Pembangunan prasarana jalan dan pendukungnya pada jalur Bulugantung - Geblug – Karangduren diharapkan akan mengurangi beban masyarakat akibat mahalnya biaya akibat sarana jalan yang tidak memadai.

Sebagai desa yang luas dengan 951 hektar, 46 RT, 10 RW, 8 Dusun dengan medan pegunungan yang susah, masih banyak daerah di Peniron yang senasib bahkan lebih tertisolir.

Maka dibutuhkan kerja keras, kebersamaan dan sikap bijak dari seluruh elemen masyarakat untuk dapat mengeluarkan masyarakat dari ketidakberdayaan.
Sebagai keluarga besar, maka eleman desa ini haruslah ibarat elemen tubuh kita yang harus saling mendukung untuk mampu menggeliat menatap masa depan. PNPMMD adalah makanan stimulan yang tidak bisa menggantikan makanan pokok yang harus kita konsumsi agar tubuh sehat alami.