Lebaran sebentar lagi. Mudah-mudahan kita masih diberi kesempatan untuk menikmatinya. Tak sampai 2 minggu lagi, suasana kampung akan berubah. Dan bagi desa miskin seperti Peniron, kedatangan saudara dari perantauan akan memberi warna yang lain dari hari biasanya.
Pulang kampung saat lebaran memang telah menjadi tradisi di Indonesia. Mahalnya tarif dan susahnya angkutan umum, macetnya perjalanan dan berbagai resiko lain tak pernah menyurutkan pemudik demi menikmati lebaran bersama keluarga di kampung. Disamping kenikmatan berkumpul itu, ada yang sangat diharapkan banyak keluarga di kampung. UANG. Uang yang dikampung begitu sulit didapat dan dikumpulkan, maka perantau menjadi harapan untuk dapat membantu keluarga menopang keperluan lebaran.
Di samping semakin banyaknya uang beredar di kampung, kepulangan perantau akan membuat suasana kampung berbeda dari hari biasa. Perantau dengan gaya hidup kota akan mewarnai desa. Logat dan gaya bicara baru, pakaian trendi, asesoris gaul, dan segala hal yang tidak “ndesani”. Bahkan, sebagian pemudik terutama yang masih ABG akan menjadi trendsetter baru bagi anak kampung untuk lebih “gaul” seperti apa yang biasanya hanya bisa dilihat di tivi.
Walaupun tidak semua, pemudik seolah malah menjadi warga baru bagi orang desa. Baru karena dengan perubahan di atas, sebagian seperti bukan orang desa lagi. Tetapi, itu bisa dimaklumi karena kehidupan dialam rantau tentu sedikit banyak telah merubah karakter. Tetapi justru suasana yang mendadak kaya warna itulah yang membuat suasana lebaran di kampung selalu ditunggu.
Memang, tidak semua saudara kita berubah menjadi “gaul”. Banyak pemudik, yang walaupun telah bertahun-tahun tetap saja “ndesani” seperti berbahasa ngapak, grapyak semanak, menyukai campursari bahkan uyon-uyon, masih seneng ngumpul dengan penghuni kampung seperti kami, ngasih rokok dan traktir makan.
Orang kampung seperti kami dengan banyak keterbatasannya kadang memang menjadi sensitif dan menjadi sangat subyektip. Atau mungkin karena memang belum siap menerima perubahan. Tetapi menurut kami, sebagian dari teman-teman kami walaupun sangat kecil, memang sudah berubah terlalu “kekota-kotaan”. (Maaf, kota hanya kami pinjam sebagai istilah, dan bukan berarti kami menganggap kota itu jelek).
Ya, sebagian orang barangkali memang berpikiran seperti Tukul Arwana, yang menggunakan istilah ndeso untuk menyebut keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan, 3 hal yang paling menjadi masalah di negeri ini. Maka, orang sukses disebut rejeki kota, wajah lucu disebut wajah ndeso, orang bodoh disebut dasar wong ndeso dan banyak sebutan lain yang akhirnya menimbulkan arogansi berpikir, bahwa segala yang berbau kota pasti lebih baik.
Dan itu, barangkali yang menyebabkan ada sebagian kecil Sudara kami yang dengan sadar merubah diri. Maka, saat mudik tampillah mereka dengan beragam budaya kotanya yang mereka anggap lebih baik. Pakaian seksi dengan asesoris layaknya artis, Hp seri mutakhir atau keluaran terbaru serta gaya hidup yang mudah-mudahan bukan karena dipaksakan agar dinilai “gaul” dan “ngota”. Sebagian dari mereka bahkan datang kepada kami dengan pongah, mengeluh dan bertanya kenapa desa tidak berubah. Sayangnya, hanya saat pulang kampung itu mereka sadar kalau desanya tertinggal, sebelum dan setelah itu mereka tak pernah peduli.
Tulisan ini bukan untuk menyuburkan dikotomi desa – kota. Sebagai warga ndeso, kami hanya ingin bahwa sebutan ndeso dan kota jangan dinilai dari bungkus semata. Jangan kita serta merta menilai bahwa orang kampung dan segala yang berbau kampung adalah ketinggalan, malu-maluin dan harus ditinggal. Ndesa dan kota adalah sebuah nilai, yang akhirnya menggambarkan kualitas peradaban. Maka, bukan alamat tempat tinggal, gaya hidup artis, hp, asesoris gaul gaya artis, dompet tebal dan gaya hidup metropolis untuk layak disebut kota. Bukan pula karena menyukai seni tradisional, miskin, hp jadul, menyukai sambal dan petai, lantas disebut ndesa.
Tulisan atau mungkin tepatnya keluhan ini pun walaupun diekspos, boleh dibaca dan direspon oleh siapapun, hanya dimaksudkan untuk mempengaruhi ruang berpikir saudara kami dari Peniron dan sebagian wong-wong ndeso lainnya. Bahwa sebenarnya sebuah kecelakaan jika berpikir berganti atribut akan serta merta membuang kemaluan dari sebutan ndeso. Gaya hidup “gaul” dan “trendy” hendaknya tidak dipaksakan tetapi memang karena kebutuhan, situasi dan kondisi. Di desa atau kota terkandung banyak nilai, buang yang buruk menurut norma, dan tak usah malu mengambil yang baik.
Kami tunggu Saudaraku, keluarga dan kampung halaman menanti kalian. Semoga lebaran nanti menjadikan kita semakin baik. Kepulangan kalian akan menjadi tempat belajar demi majunya kami dan desa kita. Amin…
Pulang kampung saat lebaran memang telah menjadi tradisi di Indonesia. Mahalnya tarif dan susahnya angkutan umum, macetnya perjalanan dan berbagai resiko lain tak pernah menyurutkan pemudik demi menikmati lebaran bersama keluarga di kampung. Disamping kenikmatan berkumpul itu, ada yang sangat diharapkan banyak keluarga di kampung. UANG. Uang yang dikampung begitu sulit didapat dan dikumpulkan, maka perantau menjadi harapan untuk dapat membantu keluarga menopang keperluan lebaran.
Di samping semakin banyaknya uang beredar di kampung, kepulangan perantau akan membuat suasana kampung berbeda dari hari biasa. Perantau dengan gaya hidup kota akan mewarnai desa. Logat dan gaya bicara baru, pakaian trendi, asesoris gaul, dan segala hal yang tidak “ndesani”. Bahkan, sebagian pemudik terutama yang masih ABG akan menjadi trendsetter baru bagi anak kampung untuk lebih “gaul” seperti apa yang biasanya hanya bisa dilihat di tivi.
Walaupun tidak semua, pemudik seolah malah menjadi warga baru bagi orang desa. Baru karena dengan perubahan di atas, sebagian seperti bukan orang desa lagi. Tetapi, itu bisa dimaklumi karena kehidupan dialam rantau tentu sedikit banyak telah merubah karakter. Tetapi justru suasana yang mendadak kaya warna itulah yang membuat suasana lebaran di kampung selalu ditunggu.
Memang, tidak semua saudara kita berubah menjadi “gaul”. Banyak pemudik, yang walaupun telah bertahun-tahun tetap saja “ndesani” seperti berbahasa ngapak, grapyak semanak, menyukai campursari bahkan uyon-uyon, masih seneng ngumpul dengan penghuni kampung seperti kami, ngasih rokok dan traktir makan.
Orang kampung seperti kami dengan banyak keterbatasannya kadang memang menjadi sensitif dan menjadi sangat subyektip. Atau mungkin karena memang belum siap menerima perubahan. Tetapi menurut kami, sebagian dari teman-teman kami walaupun sangat kecil, memang sudah berubah terlalu “kekota-kotaan”. (Maaf, kota hanya kami pinjam sebagai istilah, dan bukan berarti kami menganggap kota itu jelek).
Ya, sebagian orang barangkali memang berpikiran seperti Tukul Arwana, yang menggunakan istilah ndeso untuk menyebut keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan, 3 hal yang paling menjadi masalah di negeri ini. Maka, orang sukses disebut rejeki kota, wajah lucu disebut wajah ndeso, orang bodoh disebut dasar wong ndeso dan banyak sebutan lain yang akhirnya menimbulkan arogansi berpikir, bahwa segala yang berbau kota pasti lebih baik.
Dan itu, barangkali yang menyebabkan ada sebagian kecil Sudara kami yang dengan sadar merubah diri. Maka, saat mudik tampillah mereka dengan beragam budaya kotanya yang mereka anggap lebih baik. Pakaian seksi dengan asesoris layaknya artis, Hp seri mutakhir atau keluaran terbaru serta gaya hidup yang mudah-mudahan bukan karena dipaksakan agar dinilai “gaul” dan “ngota”. Sebagian dari mereka bahkan datang kepada kami dengan pongah, mengeluh dan bertanya kenapa desa tidak berubah. Sayangnya, hanya saat pulang kampung itu mereka sadar kalau desanya tertinggal, sebelum dan setelah itu mereka tak pernah peduli.
Tulisan ini bukan untuk menyuburkan dikotomi desa – kota. Sebagai warga ndeso, kami hanya ingin bahwa sebutan ndeso dan kota jangan dinilai dari bungkus semata. Jangan kita serta merta menilai bahwa orang kampung dan segala yang berbau kampung adalah ketinggalan, malu-maluin dan harus ditinggal. Ndesa dan kota adalah sebuah nilai, yang akhirnya menggambarkan kualitas peradaban. Maka, bukan alamat tempat tinggal, gaya hidup artis, hp, asesoris gaul gaya artis, dompet tebal dan gaya hidup metropolis untuk layak disebut kota. Bukan pula karena menyukai seni tradisional, miskin, hp jadul, menyukai sambal dan petai, lantas disebut ndesa.
Tulisan atau mungkin tepatnya keluhan ini pun walaupun diekspos, boleh dibaca dan direspon oleh siapapun, hanya dimaksudkan untuk mempengaruhi ruang berpikir saudara kami dari Peniron dan sebagian wong-wong ndeso lainnya. Bahwa sebenarnya sebuah kecelakaan jika berpikir berganti atribut akan serta merta membuang kemaluan dari sebutan ndeso. Gaya hidup “gaul” dan “trendy” hendaknya tidak dipaksakan tetapi memang karena kebutuhan, situasi dan kondisi. Di desa atau kota terkandung banyak nilai, buang yang buruk menurut norma, dan tak usah malu mengambil yang baik.
Kami tunggu Saudaraku, keluarga dan kampung halaman menanti kalian. Semoga lebaran nanti menjadikan kita semakin baik. Kepulangan kalian akan menjadi tempat belajar demi majunya kami dan desa kita. Amin…