22 Agustus 2008

DANGSAK, KESENIAN KHAS DARI GUNUNG

Dangsak "In Action"

Nama Dangsak barangkali hanya dikenal oleh masyarakat Peniron dan sekitarnya. Sebagai sebutan untuk seni tradisional yang memang langka, Dangsak memang tidak populer walaupun didaerah Peniron dan Watulawang seni ini cukup digemari.

Seni Dangsak hanya ada di Peniron dan Watulawang. Di daerah lain seperti Karanggayam, seni ini mungkin ada walaupun dengan sebutan lain. Di daerah Watulawang, daerah muasal seni Dangsak, seni ini lebih sering disebut “Cepet Rolas” (Topeng 12). Populasi seni ini juga tidak menyebar luas, sehingga seni ini bisa dibilang sebuah seni tradisional yang khas dan langka.

sebagai seni hiburan, dangsak jarang dimainkan sebagai hiburan hajatan layaknya wayang kulit, janeng, lengger, kuda lumping dan yang lainnya. Dangsak lebih sering dimainkan karena ditanggap oleh komunitas, paguyuban seperti pada acara peringatan HUT RI, halal-bihalal lebaran atau acara khusus lainnya.

Dangsak saat mengikuti karnaval HUT RIke 63 di Kebumen

Kelompok seni Dangsak di Peniron hanya ada 1 grup, yaitu di Dusun Perkutukan yang berdiri pada tahun 1992. Sebelum itu, dangsak adalah seni khas dari dusun Kebayeman di desa Watulawang yang sudah ada berpuluh-puluh tahun lamanya.

Lantas apa yang khas dari seni Dangsak?

Yang pertama, Dangsak tidak ada didaerah lain di Kebumen. Disamping Peniron dan Watulawang, kemungkinan besar hanya ada didaerah Karanggayam yang secara kultur memang sama dengan Watulawang dan sebagian Peniron.

Kedua: topeng raksasa dan kostum penarinya. Topeng raksasa dengan kombinasi kostum penari yang serba hitam menjadikan seni ini membuat takut sebagian orang terutama anak-anak.

Yang ketiga adalah seni tarinya. Sebuah kelompok tarian yang terdiri dari 8-12 penari pria. Tarian dangsak sebagian hampir mirip dengan tari kuda lumping, tetapi lebih kental unsur “liar”nya. Termasuk cara “trance” atau kesurupan dalam seni dangsak juga mirip kuda lumping, hanya “ugal-ugalan”. Konon tari dangsak atau cepet rolas memang menceritakan dan menggambarkan perilaku raksasa dari hutan.

Yang keempat adalah alat musiknya. Dulu, dangsak hanya bermodal 2 buah kentongan dan sebuah kaleng bekas sebagai alat musik, terutama jika sedang melakukan pawai. Tetapi untuk tarian, dangsak menggunakan perangkat gamelan mini.

Dangsak memang khas, sayang seni ini sepertinya tidak terkelola dengan baik dan profesional. Hal ini terlihat dari kostum dan asesoris penari yang kurang menunjukkan tampilan dengan sentuhan seni.
Demikian pula dalam hal gerakan penari yang perlu keterpaduan gerakan maupun koreografi.

Saya sendiri kurang bahkan tidak mengerti tentang seni, tetapi jika dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin dangsak bisa lebih populer. Dari bincang-bincang dengan Kang Memed selaku dedengkot Dangsak, upaya kearah itu sudah mulai dilakukan. Disamping sepatu model “Jaka Sembung”, konon model topeng raksasa juga akan diperbaharui. Bahkan, koreografer akan didatangkan jika sudah ketemu dengan orang yang mampu dan mau dibayar murah. hehe

Tidak hanya kita, pemerintahpun sebenarnya punya kewajiban untuk menjaga warisan budaya ini agar tidak hilang dan hanya menjadi cerita. Tetapi selama ini kita tidak tahu apa kerja dari dua dinas berbeda yang membidangi seni dan kebudayaan itu.

Ataukah budaya kita harus dilacurkan dulu ke negara tetangga agar mendapat perhatian karena efek dari kebakaran jenggot?
Jangan!

03 Agustus 2008

JALAN KE SILAMPENG SUDAH MULUS

Seminggu tidak pulang kampung, ternyata ada yang sudah berubah. Itupun karena saya ketemu dengan Pak Kades dan bercerita tentang kerja bakti. Sejak hari Senin lalu, beliau bersama masyarakat Kadus Bak, terutama warga Silampeng bahu membahu bekerja bakti melaksanakan pengaspalan jalan Curug – Silampeng sepanjang 1 km.

Ya, jalan Silampeng mulai dari Curug sampai Silampeng, ternyata kini telah berubah mulus. Kini setelah bertahun-tahun akses jalan menuju Silampeng sangat susah dilalui kendaraan sehingga menjadi pedukuhan yang seolah terisolir, masyarakat sudah bisa menikmati jalan aspal yang mulus dengan kualitas yang lumayan bagus. Menikmati prasarana jalan yang layak sekarang bukan lagi mimpi.

Yang membanggakan, kecuali aspal yang merupakan bantuan Pemkab Kebumen, hampir seluruh pembangunan jalan tersebut dilakukan dengan swadaya. Bahkan armada angkutan kepunyaan pribadi Kades, digunakan gratis untuk mengangkut berpuluh-puluh rit pasir dan sirtu. Kalau dihitung uang dan harus membayar, entah berapa juta yang harus dikeluarkan untuk angkutan tersebut.
Bahkan karena terlalu beratnya masyarakat dalam pengadaan pasir dan sirtu, Pemdes sampai menyewa sebuah loader untuk pengambilan pasir dan sirtu di sungai Luk Ulo.

Pada saat pengerjaan selama 3 hari, warga bahkan mulai melakukan kerja bakti pada pukul 01.00 tengah malam untuk menghemat energi. Luar biasa!

Pengaspalan jalan silampeng sebenarnya ditargetkan sampai perbatasan dengan desa Pengaringan. Tetapi karena beratnya medan dan banyaknya swadaya, terutama karena ruas Silampeng – Sibango – Pengaringan belum dimakadam, maka pengaspalan ditunda untuk sementara waktu. Selain itu, bantuan aspal yang diterima dari Pemkab memang hanya cukup untuk mengaspal sampai Silampeng.

Kini, jalan telah mulus. Semoga mulusnya jalan tersebut akan memuluskan warga dalam melakukan aktivitasnya. Efeknya adalah peningkatan dalam hal ekonomi dan sosial.
Terima kasih kepada kades Triyono Adi atas pengorbanannya dalam mewujudkan program pengaspalan jalan. Semoga program peningkatan jalan pada wilayah lain juga dapat berjalan sesuai rencana. Penghargaan juga untuk warga Silampeng yang telah bahu-membahu bersama Pemdes dalam bekerja bakti dan berswadaya.

Semoga jalan yang sudah mulus diikuti dengan peran warga untuk memeliharanya. Pendapat bahwa memelihara lebih sulit daripada membangunnya semoga tak terjadi di Silampeng. Amin…